Selasa, 18 Februari 2014

Rain In Paris


Yeah, this is a new thing in my blog! I never wrote any novel review before. I was surprised when I got this honor to review a novel—I was personally asked to give a review by the writer: Cindy! I won’t to talk too much. Let’s read my review:
Rain in Paris. Novel ini asyik. Khas remaja banget. Kalau boleh rating, aku kasih tiga setengah dari lima bintang. Kenapa? Soalnya novel ini udah berhasil menggambarkan gimana remaja Indonesia secara realistis—nggak peduli ambil set di mana. Feel khas remaja Indonesianya dapet banget. Misalnya, betapa remaja Indonesia itu sekarang lagi kena syndrome susah move on, sering galau, dan segala perkampretan khas remaja yang berhasil dikemas dalam plastik yang bernama romantis.
            Ini beberapa bagian favorite-ku:
“Drey, aku mau—“
“Pelayannya datang,” ujarku cepat. Aku tidak ingin membicarakan hubunganku dengan Val atau apapun yang berhubungan dengan tiga tahun lalu. Aku tidak ingin hatiku sakit kembali.
Tanpa makanan pembuka, Aku dan Val mulai menyantap makanan utama, tanpa percakapan. Hanya ada suara dentingan garpu dan pisau yang bersentuhan.
Setelah aku melap mulut dan bibirku dengan napkin, tiba-tiba Val memegang tanganku. Refleks, aku menarik tanganku.
            Ya, menurutku ini asik banget ngalirnya. Terasa real. Ada sepasang mantan kasih makan malam berdua, dengan si cowok ada niat khusus untuk menjalin hubungan lagi sementara si cewek masih trauma dengan masa lalunya. Implikasinya adalah si cowok jadi agresif main pegang tangan si cewek, tapi ceweknya memberi respon spontan yang negatif.
            Juga adegan yang satu ini:
“Ibumu sudah menceritakan semuanya.” Sidney duduk di dekatku dan memegang bahuku. “Val, listen to me. Buat apa sih kamu masih ngejar-ngejar dia? Belum tentu juga dia masih mau sama kamu.”
           
            Di sini, karakter Sidney berhasil digambarkan sebagai sosok pengganggu yang sumpah-minta-dijenggut. Aku malah spontan nyahut, “Ya so what kalo Audrey gak mau sama Val? Kenapa situ sok jadi Madame Nostradamus era modern? Pake main tebak Audrey mau balikan apa engga.”
            Nah, ini lagi nih bagian favoritku:
            “Telepon siapa sih, Val?” tanya Sidney, nadanya seperti curiga dan ingin tahu.
Aku menghela napas. “Audrey. Sudah seminggu ini dia menghilang.”
“Loh bagus dong?” ujarnya sinis.
“Bagus apanya?”
“Ya berarti dia sadar sama kata-kata aku kalau kamu tuh udah ada yang punya.”   
Terasa ngalirnya aja. Tek-tok-nya dapet.
Kalau mau disebutin satu-satu bagian favoritku, mungkin nanti novelnya malah aku post di sini haha. Jadi sebaiknya kalian beli sendiri ya di toko terdekat? :”) buat yang suka cerita ringan a la teenlit, ini cocok banget buat kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar